Pati, Suryamedia.id – Fenomena la nina menjadi ancaman bagi petani di Kabupaten Pati. La nina membuat cuaca ekstrim dan yang memicu bencana basah seperti banjir, bandang, dan angin kencang.
Dampak la nina tersebut tentunya sangat merugikan para petani yang mengandalkan cuaca dan curah hujan.
La Nina sendiri adalah fenomena mendinginnya suhu permukaan laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah dan Timur di bawah kondisi normalnya.
Fenomena ini sudah dimulai pada pertengahan 2020 dan diprediksi akan tetap berlangsung hingga akhir tahun 2022 dan kemungkinan berlanjut hingga awal tahun 2023, sehingga dinamai “Triple Dip”.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat DAerah (DPRD) Kabupaten Pati dari Komisi B Narso mengatakan, di cuaca ekstrim semacam ini, para petani harus menggunakan pranoto mongso atau ilmu tentang memahami konsep cuaca untuk para petani.
Meskipun cuaca ekstrim sebetulnya tidak ada alasan bagi petani untuk menunda atau tidak melakukan tanam. Bencana alam di lahan persawahan sulit dihindari. Namun dengan pranoto mongso, risiko bencana di persawahan dapat diminimalisir.
“Makanya pelaku budidaya harus belajar pranoto mongso, banyak yang mengabaikan dan asal tanam. Kalau petani tanam kan harus disinkronkan antara cuaca dan masa tanam,” kata Narso saat diwawancara Suryamedia.id.
Pranoto mongso bisa diartikan sebagai semacam penanggalan yang berkaitan dengan musim menurut pemahaman suku Jawa, khususnya dari kalangan petani dan nelayan.
Ilmu pranoto mongso bukan klenik, lebih kepada memahami pertanda cuaca dan kebiasaan dari masyarakat Pati terdahulu saat menanam padi.
Politisi dari Partai PKS ini mencontohkan, ilmu Jawa ini bisa digunakan untuk menandai kapan waktu yang tepat untuk memulai menanam.
“Kalau orang Jawa bilang mongso ka enem, salah satu tandanya adalah munculnya ulat bulu. Hal-hal seperti itu yang harus dipelajari,” imbuhnya. (adv)
Penulis: Moh Anwar | Penulis: Agriantika F