Ramai di Media Sosial, Apa Itu Asian Value?

Suryamedia.id – Istilah ‘Asian Value’ ramai di media sosial usai sebuah podcast bercerita tentang politik menjadi viral. Adapun acara siniar tersebut membahas tentang politik dinasti dalam suatu segmen, kemudian merambah ke istilah ‘Asian Value’.

Lantas, apa yang maksud dari ‘Asian Value’ tersebut? Simak penjelasan berikut ini!

Apa itu Asian Value?

Dilansir dari Britannica, Asian value adalah serangkaian nilai yang dipromosikan sejak akhir abad ke-20 oleh beberapa pemimpin politik dan intelektual Asia sebagai alternatif kesadaran terhadap nilai-nilai politik Barat seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan kapitalisme.

Pendukung Asian Value ini menyatakan bahwa perkembangan ekonomi di Asia Timur bisa tercapai pasca Perang Dunia II karena kesamaan budaya masyarakat, khususnya warisan Konfusianisme. Konfusianisme merupakan sistem pemikiran yang berasal dari China kuno sebagai tradisi, filsafat, agama, teori pemerintahan, atau cara hidup.

Mereka juga menegaskan bahwa nilai politik Barat tidak cocok di Asia Timur karena memupuk individualisme dan legalisme yang berlebihan, serta disebut akan mengancam dan melemahkan tatanan sosial hingga menghancurkan dinamisme ekonomi.

Baca Juga :   Joni Kurnianto Sambut Baik Pemerintah Tolak Hasil KLB

Adapun nilai-nilai Asia yang sering dikutip adalah disiplin, kerja keras, berhemat, prestasi pendidikan, keseimbangan kebutuhan individu dan masyarakat, dan penghormatan terhadap otoritas.

Perdebatan di Internal Asia

Meski diklaim memiliki manfaat, Asian Value ini mendapatkan perhatian khusus di awal tahun 1990-an. Perdebatan nilai-nilai Asia ini juga terjadi di kalangan internal masyarakat Asia. Terutama pada saat terjadi perubahan ekonomi dan sosial yang pesat di Asia Timur, di mana individualisme dan demokratisasi, serta gerakan hak asasi manusia meningkat.

Para pendukung Asian Value ini kemudian membuat beberapa klaim terkait, beberapa diantaranya;

  • Penegasan Asian Value bertanggung jawab atas pertumbuhan ekonomi yang signifikan di Asia;
  • Pembangunan ekonomi harus diprioritaskan pada masyarakat yang sedang keluar dari kemiskinan;
  • Hak-hak sipil dan politik harus berada di bawah hak-hak ekonomi dan sosial;
  • Selain itu, karena negara merupakan perwujudan identitas kolektif dan kepentingan warga negaranya, maka kebutuhannya harus didahulukan dibandingkan hak-hak individu.

Ide-ide tersebut diungkapkan dalam Deklarasi Bangkok tentang hak asasi manusia pada tahun 1993, dan ditandatangani oleh banyak negara di Asia. Meski demikian, juga mendapat kritik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia di Asia.

Baca Juga :   Arti Takjil Sebenarnya, Benarkah Bukan Makanan Berbuka Puasa?

Kritik terhadap Asian Value

Kritik tersebut menolak klaim yang mengatasnamakan upaya untuk menopang pemerintahan otoriter dan tidak liberal terhadap lawan-lawan domestik dan eksternal dan untuk mengaburkan kelemahan model pembangunan ekonomi Asia

Dalam makalah ilmiah ‘Asian Values’ and Democracy in Asia oleh Takashi Inoguchi dan Edward Newman dari United Nations University, Asian values selalu dibahas dalam konteks dikotomi Timur-Barat.

Para penganjur Asian values mengagung-agungkan komunitas, keluarga sebagai basis masyarakat, berhemat, menghargai pembelajaran, kerja keras, tugas publik, kerja sama tim. Mereka biasanya merendahkan argumen dengan mengontraskannya kehancuran keluarga, dekadensi, hedonisme, individualisme yang berlebihan, kurangnya kerja sama tim, kecerobohan, dan disiplin yang buruk di Barat.

Beberapa kritikus menuduh bahwa Asian value berdasarkan stereotip budaya Asia. Sedangkan, para ahli teori feminis memandang nilai-nilai Asia adalah upaya untuk melegitimasi hierarki gender, kelas, etnis, dan ras yang tertanam dalam budaya Asia hingga hubungan sosial kapitalis yang lebih luas.

Perdebatan Asian Value relevan dengan argumen dalam teori politik mengenai apakah komitmen terhadap keadilan dan kesetaraan global dapat didasarkan pada hak asasi manusia. Tokoh komunitarian seperti Charles Taylor telah merefleksikan pengalaman budaya Asia dapat digunakan untuk mengkaji potensi dan tantangan dalam membangun konsensus global yang lebih inklusif, tanpa paksaan namun kuat tentang hak asasi manusia.

Baca Juga :   Dewan Harap Tokoh Agama Tak Anti Politik

Literatur yang berkembang, termasuk yang terkait dengan komunitarianisme Konfusianisme dan Islam reformis, telah mengkaji apakah nilai-nilai dan institusi tertentu di masyarakat Asia konsisten dengan hak asasi manusia. Daniel A. Bell, seorang filsuf Kanada berpendapat bahwa banyak ‘Values in Asian’ dibandingkan dengan ‘Asian Value’ dapat memperkaya teori dan praktik hak asasi manusia global dan diterapkan untuk meningkatkan martabat dan kesejahteraan orang-orang Asia kontemporer. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *