Suryamedia.id – Diduga dibangun dari hasil judi online, Hotel Aruss di Semarang jadi objek penyitaan. Bangunan yang berdiri di Jalan Dr. Wahidin, Semarang, Jawa Tengah tersebut diperkirakan memiliki nilai sekitar Rp200 miliar.
“Berdasarkan hasil penyidikan, kami menemukan bahwa sebagian atau seluruh dana yang digunakan untuk membangun hotel ini bersumber dari tindak pidana perjudian online,” terang Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Helfi Assegaf dalam konferensi pers Senin (6/1/2025), dikutip dari CNBC Indonesia.
Menurut penyelidikan oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim polri, ditemukan aliran dana mencurigakan yang digunakan untuk membiayai pembangunan hotel tersebut antara tahun 2020 hingga 2022.
Hotel Aruss sendiri merupakan aset yang dikelola oleh PT AJ. Perusahaan tersebut disebutkan menerima dana sekitar Rp 40,56 miliar dari rekening pribadi atas nama FH. Dana tersebut dipindahkan melalui lima rekening yang diduga terhubung dengan platform seperti Dafabet, agen 138, dan judi bola.
PT AJ Selain itu, juga terdapat setoran tunai yang berasal dari individu berinisial GP dan AS yang turut mendanai aliran dana tersebut. Dari temuan tersebut, diduga hotel dibiayai dana yang bersumber dari praktik perjudian online, atau masuk dalam kategori tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Para pelaku menampung uang hasil perjudian online pada rekening-rekening nominee yang tidak terdaftar atas nama pelaku. Uang tersebut kemudian dipindahkan antar rekening, ditransfer, dan ditarik tunai untuk menghindari pelacakan,” lanjut Helfi dalam keterangannya.
Sebagai informasi, pelaku tindak pidana pencucian uang dapat dijerat dengan Pasal 3, 4, 5, atau 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp 10 miliar.
Sementara itu, pelaku perjudian online dapat dikenakan Pasal 303 KUHP dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 25 juta. Selain itu, bagi pelanggaran terkait transaksi elektronik, Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 dapat dijatuhkan dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar. (*)