Suryamedia.id – Polemik peraturan gubernur (Pergub) Jakarta terkait poligami masih berlangsung. Menanggapi hal tersebut, Pemprov DKJ diminta mengkaji ulang Pergub Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 tersebut tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian, alias Pergub Poligami.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi. Pasalnya, ia menilai beberapa pasal ditulis dengan penggunaan diksi yang kurang baik, serta berpotensi merendahkan kehormatan perempuan.
“Jika kita melihat per pasalnya, masih banyak penggunaan diksi yang kurang baik, misalnya saja ‘bekas istri’ yang seolah tidak ada penghormatan dan penghargaan kepada perempuan dalam Pergub tersebut.,” kata Menteri PPPA Arifah Fauzi, dikutip CNN Indonesia.
“Kami menilai perlu pengkajian kembali terkait urgensi dari Pergub tersebut,” imbuhnya.
Pihaknya juga mengingatkan bahwa dalam perumusan peraturan dan kebijakan alangkah baiknya lebih mengutamakan perspektif gender, terutama jika ada kaitannya dengan perempuan dan anak. Selain itu, diperlukan keterlibatan banyak pihak untuk memberikan pandangan terkait kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, ia menyampaikan agar Pemprov Jakarta lebih fokus pada penyelesaian kasus dan pemenuhan hak-hak perempuan yang sekiranya lebih mendesak.
“Padahal kita semua tahu bahwa masih banyak permasalahan terkait perempuan dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak yang lebih mendesak dibandingkan dengan implementasi Pergub ini,” lanjutnya lagi.
Sementara itu, Plt Asisten Setda bidang Kesejahteraan Rakyat Pemprov DKJ Suharini Eliawati mengatakan munculnya Pergub DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 dilatarbelakangi adanya banyaknya kasus perceraian ASN yang mencapai 116 kasus sepanjang tahun 2024.
Sehingga, peraturan tersebut dibuat sebagai salah satu upaya untuk mempertegas hukum yang mengatur proses kawin-cerai ASN.
“Pergub ini dibuat karena keprihatinan kami mengenai angka cerai yang tinggi pada ASN di Jakarta. Setiap kasus perceraian pasti memiliki dinamika tersendiri. Namun, banyak kasus perceraian yang membuat hak mantan istri dan anak diabaikan begitu saja usai bercerai,” kata Suharini Eliawati. (*)